Sedikit berlebihan, apabila saat ini kita masih memperingati hari
lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sama sekali bukan tidak menghormati Beliau, Ki Hadjar Dewantara.
Hanya saja apa sebenarnya yang mau diperingati secara nasional disini?
Kegagalan Ujian Negara? Kebingungan para murid yang disikapi
dengan mendoakan alat perkakas untuk seperti pensil untuk ujiankah? Atau
kebingungan para guru saat akan mengikuti ujian profesi?
Atau kenyataan bahwa masih banyak anak yang mendapatkan mata
pelajaran di gubuk yang reot, yang bahkan tidak mampu untuk membeli buku
kurikulum yang selalu berubah rubah? Mereka yang harus melewati jembatan tali
diatas derasnya anak sungai untuk menuju sekolah. Itukah yang harus
diperingati?
Barangkali, ketidak merataan pendidikan di daerah tertinggal yang
mungkin sedang ingin diperingati. Atau para anak jalanan yang masih banyak yang
putus sekolah. Sebetulnya ketidak merataan pendidikan ini sedikit menimbulkan
pertanyaan. Kenapa banyak guru muda yang enggan mengemban misi mengabdi untuk
pendidikan disana?
Hanya sering dengar masalah guru swasta yang berpindah ke negeri,
tetapi jarang dengar ada penempatan seperti halnya para dokter muda yang “harus
rela” bahkan sampai ke pelosok negeri. Kenapa jarang ada? Atau lebih
tepatnya, kenapa tidak diwajibkan?
Atau, para sarjana yang lulus dengan bangganya melempar toga ke
angkasa setelah sibuk berdemo selama masa belajarnya dan pada akhirnya bingung
harus melamar pekerjaan kemana? Karena pada kenyataannya, terlalu banyak
teori yang menghujam di para sarjana ini pada akhirnya pun sulit untuk membuat
mereka menjadi manusia yang mandiri.
Kalau mau mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, secara pribadi
penulis sangat setuju. Mari kita kenang jasa Beliau dan para guru yang
telah mendidik kita sampai ke titik ini dan kemudian. Tetapi Hari Pendidikan
Nasional? Sebuah perayaan yang tak perlu, saat masih banyak kekurangan yang
harus dipacu di sisi pendidikan di Indonesia.