Madridista

MY ARTIKEL

Sabtu, 04 Mei 2013

Menggugat HARDIKNAS


Sedikit berlebihan, apabila saat ini kita masih memperingati hari lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sama sekali bukan tidak menghormati Beliau, Ki Hadjar Dewantara. Hanya saja apa sebenarnya yang mau diperingati secara nasional disini?
Kegagalan Ujian Negara?  Kebingungan para murid yang disikapi dengan mendoakan alat perkakas untuk seperti pensil untuk ujiankah? Atau kebingungan para guru saat akan mengikuti ujian profesi?
Atau kenyataan bahwa masih banyak anak yang mendapatkan mata pelajaran di gubuk yang reot, yang bahkan tidak mampu untuk membeli buku kurikulum yang selalu berubah rubah? Mereka yang harus melewati jembatan tali diatas derasnya anak sungai untuk menuju sekolah. Itukah yang harus diperingati?
Barangkali, ketidak merataan pendidikan di daerah tertinggal yang mungkin sedang ingin diperingati. Atau para anak jalanan yang masih banyak yang putus sekolah. Sebetulnya ketidak merataan pendidikan ini sedikit menimbulkan pertanyaan. Kenapa banyak guru muda yang enggan mengemban misi mengabdi untuk pendidikan disana?
Hanya sering dengar masalah guru swasta yang berpindah ke negeri, tetapi jarang dengar ada penempatan seperti halnya para dokter muda yang “harus rela” bahkan sampai ke pelosok negeri. Kenapa jarang ada?  Atau lebih tepatnya, kenapa tidak diwajibkan?
Atau, para sarjana yang lulus dengan bangganya melempar toga ke angkasa setelah sibuk berdemo selama masa belajarnya dan pada akhirnya bingung harus melamar pekerjaan kemana? Karena pada kenyataannya, terlalu banyak teori yang menghujam di para sarjana ini pada akhirnya pun sulit untuk membuat mereka menjadi manusia yang mandiri.
Kalau mau mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, secara pribadi penulis sangat setuju.  Mari kita kenang jasa Beliau dan para guru yang telah mendidik kita sampai ke titik ini dan kemudian. Tetapi Hari Pendidikan Nasional? Sebuah perayaan yang tak perlu, saat masih banyak kekurangan yang harus dipacu di sisi pendidikan di Indonesia.